Tawaran Kecil Untuk Hati Yang terpencil
Cerita
yang kualami ini layaknya cerita dalam novel. Tak pernah kusangka-sangka
sebelumnya. Ternyata kalau aku mau saja melihat kebawah, masih banyak orang
yang hidupnya kurang beruntung dibanding aku.
“Abang
anak pertama dari empat bersaudara, dua adikku putus sekolah karena harus kerja
bantu bapak dan ibu dikampung, ibu sakit-sakitan dan keluar masuk rumah sakit,
malah sekarang abang belum dapat kerjaan. Cobalah Yasmin fikirkan dulu, abang kan
anak laki-laki paling besar. Gimana mungkin abang bisa memikirkan perempuan
lain sementara ibu abang sendiri sakit fisik, bisa-bisa jadi anak durhaka
abang. Itulah sebabnya abang terlambat menikah. Sebab lain, juga belum ada
wanita yang bisa menerima keadaan abang dan keluarga abang. Sebenernya abang
udah ada nabung dari hasil kerja yang dulu, tapi ketepatan saat itu pula ibunya
abang masuk rumah sakit yang kemudian harus operasi dan mengahabiskan semua
tabungan abang, juga untuk biaya kuliah dan biaya sekolah adik-adik abang. Bapak
abang udah tua dan gak kerja. Untuk
makan mereka dikampung aja susah, itulah sebabnya abang kerja keras biar bisa
bantu mereka. Istikharah Yasmine. Apa Yasmine mau abang lamar? Apa Yasmine bisa
menerima keadaan abang dan keluarga abang? Jujur aja, kalau untuk biaya
walimahan abang gak ada uang, tapi kalau untuk ijab qabul alhamdulillah bisa.
Dan mungkin itulah jodoh abang......” cerita itu masih terngiang-ngiang
ditelingaku. Ah, ya Rabb.. apa yang harus kulakukan. Sungguh perih mendengar
kisahnya. Ada secuil rasa simpati melihat keadaannya. Tapi walau bagaimanapun
aku tak bisa membohongi hatiku, aku tidak mencintainya. Jangankan
mencintainya.. mengenalnya pun tidak sama sekali. Bagaimana ini, mengapa ia
terbuka padaku. Padahal kami tidak saling mengenal. Sungguh aku ingin
membantunya. Tapi bagaimana caranya??
Haruskah kuterima tawarannya untuk menikah dengannya?? Tapi bagaimana
dengan hatiku? Haruskah aku mengorbankan perasaanku demi menolongnya?? Ah,
tidak.. ini bukan cinta, ini hanya kasihan padanya. Lalu apa yang harus aku
lakukan? Mungkinkah ini termasuk bagian dari cara Allah yang ditetapkan padaku untuk
mengujiku? Ya Allah.. hanya kepadamu semua ini kukembalikan. Berilah petunjukmu
atas dilema ini. Benarkah dia jodohku? Ya Allah ku ikuti semua alur ini, hingga
engkau menunjukkan mana yang terbaik untukku. Kadang aku berfikir, bagaimana
ini bisa terjadi?. Ah, semua ini campur tangannya. Disisi lain, aku punya
rencana. Akan membiayai sekolah adik-adikku sampai keperguruan tinggi. Lalu
jika aku menikah bagaimana nasib mereka? Lalu bagaimana dengan orang tuaku yang menginginkan agar aku
berkarir dulu setelah wisuda nanti? Apakah aku harus mengecewakan mereka
lagi? Jika tidak... aaaahhhhhh, entahlah aku bingung. Ya Allah berilah
petunjukmu. Akhirnya aku sadar, manusia
hanya bisa merencanakan dan ketetapannya hanya milik Allah. Bagaimana ini?
“Akhi, aku tahu apa yang kau rasakan saat ini. Aku tahu posisimu sekarang sedang
tidak nyaman, tertekan. Tapi aku yakin kau mampu menghadapi semua ini dengan
sempurna. Akhi, sungguh aku tak tahu harus berbuat apa agar aku bisa
membantumu. Kau empat tahun lebih tua dariku. Dan kurasa itu cukup dewasa untuk
menghadapi masalah seperti ini. Akhi, aku menyesal tahu ceritamu. Kini cerita
itu membuatku merasa bersalah. Tapi sebelumnya aku tak pernah ingin tahu atau
bahkan sekedar ingin menyentuh hidupmu, tidak ada niatku seperti itu, tapi
malah engkau sendiri yang menunjukkan kisah hidupmu padaku. Dan hal itu
membuatku merasa bersalah dan bingung harus berbuat apa. Akhi.. aku tidak mencintaimu,
bahkan tidak mengenalmu walau sedikitpun. Bagaimana bisa aku menikah denganmu?
Akhi, perlu juga kau tahu.. dalam diam ini aku sedang menantikan seseorang yang
nantinya juga akan menjadi bagian dari hidupku dan seseorang itu bukan kamu.
Bagaimana bisa kamu hadir disela-sela
hatiku yang sempit dan sudah terisi olehnya. Akhi, sekali lagi aku mohon jangan
berharap padaku, aku takut membuatmu kecewa. Bukankah kau pernah bilang, bahwa
sudah cukup kau merasakan kekecewaan karena berharap kepada manusia. Lalu apa
bedanya dengan berharap kepadaku? Akhi bolehkah aku jujur padamu? Jujur, aku
belum siap menikah denganmu. Bukan karena alasan latar belakang keluargamu atau
karena keadaanmu saat ini. Sungguh bukan karena itu! Bukankah aku punya
kriteria, yang penting seseorang itu baik iman dan akhlaknya sudah cukup, dan
aku rasa kau juga memiliki kriteria itu, tapi hatiku mengatakan aku belum siap
menikah untuk saat ini. Izinkan aku membantumu untuk mencari wanita lain yag
mungkin sudah siap untuk menikah. Atau membantumu untuk memperbaiki keadaan
ekonomimu dan keluargamu. Aku tak bisa berbuat apapun, sungguh! Maafkan aku..
aku belum bisa menerima tawaranmu.. maafkan aku. Semoga datang bidadari itu
untuk menghapus segala duka dan lukamu.”
Komentar